Perlawanan Rakyat Bali (1846 - 1849)
Perlawanan Rakyat Bali (1846 - 1849) - Pada kurun ke-19, di Bali terdapat banyak kerajaan, yang masing-masing memiliki kekuasaan tersendiri. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Bandung, Tabanan, Mengwi, Bangli, dan Jembrana. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang gencar mengadakan perlawanan terhadap Belanda yakni Buleleng dan Bandung.
Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Rakyat Bali
1) Pemerintah kolonial Belanda ingin menguasai Bali. Yaitu berusaha untuk meluaskan kawasan kekuasaannya. Perjanjian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja-raja Klungkung, Bandung, dan Buleleng dinyatakan bahwa raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaannya berada di bawah kekuasaan negara Belanda. Raja memberi izin pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
2) Pemerintah kolonial Belanda ingin menghapuskan hak Tawan Karang yang sudah menjadi tradisi rakyat Bali. Hak Tawan Karang yakni hak raja Bali untuk merampas bahtera yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.
Jalannya Perlawanan Rakyat Bali
Pada tahun 1844, di pantai Prancak dan pantai Sangsit (pantai di Buleleng bab timur) terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang terdampar di pantai tersebut. Timbul percekcokan antara Buleleng dengan Belanda. Belanda menuntut biar Kerajaan Buleleng melakukan perjanjian 1843, yakni melepaskan hak Tawan Karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda memakai dalih bencana ini dan menyerang Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Belanda mendaratkan pasukannya di pantai Buleleng. Perlawanan sengit dari pihak Kerajaan. Buleleng sanggup menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Akhirnya Belanda berhasil menduduki satupersatu daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran,
Sebelumnya mengenai Perlawanan Rakyat Banjar ini sanggup membantu.
Sebelumnya mengenai Perlawanan Rakyat Banjar ini sanggup membantu.
Banjar Delodpeken, Istana raja telah terkurung rapat). I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini lalu mengambil siasat akal-akalan mengalah dan tunduk kepada Belanda. I Gusti Ketut Jelantik, patih kerajaan Buleleng melanjutkan perlawanan. Pusat perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di sebuah desa yang berjulukan desa Jagaraga. Secara geografis desa ini berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk ”supit urang”.
Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibentuk dari bambu (bahasa Bali : sungga) untuk menghambat gerakan musuh. Benteng Jagaraga diserang oleh Belanda, namun gagal alasannya yakni Belanda belum mengetahui medan yang bekerjsama dan siasat pertahanan supit urang laskar Jagaraga.
I Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya sesudah memperoleh kemenangan, bertekad untuk mempertahankan benteng Jagaraga hingga titik darah penghabisan demi kehormatan kerajaan Buleleng dan rakyat Bali.
Akhir perlawanan Rakyat Bali
Untuk memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di Jagaraga, Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka sesudah mengatur persiapan, mereka eksklusif menyerang Benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah, yaitu arah depan dan dari arah belakang Benteng Jagaraga. Pertempuran sengit tak sanggup dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai ketika itulah Belanda menguasai Bali Utara.
Sekian pembahasan Perlawanan Rakyat Bali