Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (Rth) Kota
Selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintah Daerah, komitmen untuk mewujudkan pembangunan kota secara berkelanjutan, antara lain telah mensyaratkan pembangunan dan pengelolaan RTH secara konsisten dan profesional. Otonomi Daerah harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya menerus untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan terhadap masyarakat.
Sistem, mekanisme, prosedur penyelenggaraan otonomi daerah (baik UU maupun Peraturan Pelaksanaan/PP-nya) harus jelas dan aplikatif untuk menghindarkan distorsi kontra produktif. Otonomi Daerah dalam jangka panjang harus mampu mewujudkan kemandirian daerah, dilaksanakan dalam wadah NKRI dan harus mampu memantapkan demokrasi dalam semangat persatuan dan kesatuan.
Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi pembangunan kota berkelanjutan, mensyaratkan pelaksanaan transparansi semua kegiatan, baik oleh pemerintah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyarakat umum). Kesadaran hak dan tanggung jawab pembangunan dan pengelolaan RTH tidak hanya merupakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat, dan penyesuaian program-program pembangunan yang inovatif, kreatif, dan mutakhir. Program Bangun Praja, Super Prokasih, Langit Biru, sampai kini masih dianggap sebagai gerakan parsial lingkungan perkotaan saja. Kebijakan dan Strategi Pembangunan serta Pengelolaan RTH secara umum, sudah dituangkan pada Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 14/1988 Tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan.
Pembangunan lingkungan berkelanjutan sangat membutuhkan peran sentral para arsitek landscape yang sangat berpengaruh dalam menggubah wajah alam, menjadi suatu lingkungan kota yang layak huni, aman, nyaman, sehat, dan indah bagi manusia. Apalagi di era otonomi daerah, dimana ternyata pembangunan daerah memerlukan bantuan, yaitu dalam mengarahkan pembangunan kota berkelanjutan.
Menyadari akan hal ini, Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. fourteen Tahun 1988, tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan, meski hingga kini belum didukung oleh perangkat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) maupun Petunjuk Teknis (Juknis), menyangkut Pengelolaan RTH yang sesuai kebutuhan masing-masing daerah, utamanya Pemerintahan Kota dan Kabupaten. Keterpurukan keadaan ekonomi, sosial dan politik, telah menyita perhatian semua pihak agar bisa bertahan hidup dan berusaha bangun untuk mengatasinya. Ironisnya pembangunan kota berkelanjutan, menjadi terabaikan dan krisis lingkungan semakin bertambah parah. Untuk itu, perlu desakan segera mengkonsolidasikan diri dengan masing-masing pihak terkait, agar lebih memperhatikan pembangunan lingkungan kota melalui pengelolaan RTH yang juga berkelanjutan.
Di era reformasi, berbagai sektor pemerintah melakukan pembenahan struktur manajemen kerja kembali sesuai tuntutan perkembangan kebijakan politik kepemerintahan. Sebagai contoh, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pun selalu mengalami perubahan struktural, dengan demikian bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk di wilayah perkotaan, dapat lebih mempertimbangkan keselarasan dan kesimbangan dengan alam sekitar.
Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan perundangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dari pucuk gunung sampai ke ujung laut, melalui berbagai programme dan proyek. Tak hanya Kantor KLH saja yang memang langsung diberi wewenang mengatur pengelolaan lingkungan hidup ini, yang berdasar pada kemampuan dan tanggung-jawab. Dalam pengelolaan lingkungan hidup, yang penting adalah adanya kesadaran dan keterpaduan kerja untuk bersama-sama melestarikan fungsi lingkungan dengan pihak stakeholder, seperti kerjasama dengan sektor lain terkait, antara lain Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar), Departemen Pertanian dan Kehutanan, akademisi, praktisi profesional, dan masyarakat umum.
Kantor KLH telah mencanangkan beberapa programme dan proyek, yang sebagian besar mencoba kembali merehabilitasi atau menata kembali lingkungan, khususnya lingkungan perkotaan, dan membantu mempertahankan lingkungan yang masih baik. Salah satunya adalah Program Tata Praja Lingkungan (Good Environmental Governance/GEG), yang terdiri dari dua sub Program, yaitu Program Bangun Praja dan Program Masyarakat Madani.
1. Kebijakan Pembangunan RTH Kota
Kebijakan pembangunan harus diterapkan melalui peraturan pengelolaan yang konsisten, mengacu pada tata ruang rasional, aplikatif, dan operasional dengan pengendalian peruntukan tanah sesuai dengan daya dukung lingkungan melalui tertib administrasi pertanahan, mengurangi kesenjangan kesejahteraan (poverty alleviation), konflik sosial, dan kriminalitas. Adanya sarana transportasi multi-moda yang terpadu, termasuk ruang untuk para pejalan kaki dan sepeda, dan peningkatan jenis dan kualitas angkutan publik secara massal.
RTH kota merupakan sub-ordinat ruang terbuka yang ada dalam konstelasi perencanaan ruang kota secara keseluruhan. Ditinjau dari sudut manusia, maka konsepsi pengelolaan LH menjadi kompleks. Di satu pihak, dengan berbagai pandangan dan latar belakang, manusia itu berbudaya (cultural contemplation), berperilaku sosial (social behaviour), pertimbangan ekonomi (economic considerations), dan bersikap politik (political attitudes), semua terpadu sebagai salah satu komponen pendukung pengembangan lingkungan hidup (Haeruman, et.al. 1980).
Manusia akan selalu memandang, bahwa sumber daya itu akan menghasilkan barang dan jasa berupa materi, informasi dan energi, dalam siklusnya masing-masing, termasuk perhitungan antara daya dukung atau kemampuan asimilasi serta dampak negatif lingkungan. Sekarang, tergantung pada diri kita masing-masing, bagaimana menyadari eksistensi sumberdaya itu dan pemanfaatannya, terutama di lingkungan perkotaan, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan warga kota secara berkelanjutan. Dilihat dari sebuah unit of measurement sosial terkecil yaitu keluarga, maka ruang luar yang ada sebenarnya dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tanaman pot bunga, buah, sayuran, apotik hidup minimal untuk kebutuhan keluarga.
Kota akan selalu menghadapi perobahan akibat akselerasi pembangunan secara menyeluruh, sehingga terjadi degradasi kualitas fungsi alami lingkungan. Kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di seluruh bagian kota, pencemaran udara, air, tanah dan suara, banjir, kebakaran, dan krisis air bersih, berakibat penurunan kualitas kesehatan, produktivitas, dan kinerja warga kota.
Perencanaan tata ruang kota selalu tertinggal dengan laju kebutuhan fisik dan psikis penduduk yang semakin meningkat, baik dalam jumlah maupun kualitas. Ekspansi ruang kota ke segala penjuru tanpa terkendali. Penanganan masalah lingkungan hidup kota, termasuk eksistensi RTH, masih bersifat parsial dan temporal.
2. Strategi Pembangunan RTH Kota
Akibat negatif pembangunan struktur bertingkat dan meningkatnya intensitas transportasi tak beraturan tanpa pertimbangan pengelolaan lingkungan yang bijaksana akan berpengaruh pada pengurangan kapasitas kemampuan RTH
Dari beberapa penelitian kota-kota di luar negeri diketahui, bahwa setiap satu hektar RTH efektif mampu menetralisir 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk, dan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk/hari. RTH mampu menyimpan 900 m3 air tanah/tahun, mentransfer air 4.000 liter/hari, setara dengan pengurangan suhu 5-8° Celcius, setara dengan kemampuan lima unit of measurement alat pendingin udara berkapasitas 2,500 Kcal/20 jam, meredam kebisingan 25-80 persen dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen, tergantung pada jenis tanaman, iklim dan jenis tanah. Sebatang pohon dapat mendinginkan udara setara dengan kapasitas lima buah mesin pendingin udara yang dioperasikan selama xx jam/hari terus-menerus.
Pada kawasan industri, jalur hijau pengaman selebar fifty meter yang dibangun di sekelilingnya, akan mampu menurunkan pencemaran akibat meningkatnya konsentrasi SO2 sebesar lxx persen, dan NO2 sebesar 67 persen (Konstruksi, 1995). Bila angka-angka tersebut ditransfer ke dalam hitungan biaya lingkungan tanpa RTH, jumlahnya pasti akan melebihi biaya ekonomi jangka pendek, sebagaimana selalu dilansir para pengembang kota, seperti hotel, plaza, mal, hipermarket dan semacamnya. Hasil penelitian dari luar negeri tersebut hanya bisa menjadi referensi saja, di mana sebaiknya dilakukan penelitian, senada sesuai dengan keadaan ekosistem kota tropis di Indonesia.
Keberadaan air tanah yang semakin dalam dan tercemar pun menyebabkan intrusi air laut, amblasan tanah dan krisis air bersih. Sementara biaya penjernihan sumberdaya air melalui intake langsung dari alam sumur atau sungai meningkat tajam, akibatnya selain menjadi semakin langka, harga air PAM pun semakin meningkat mahal dengan kualitas air yang belum tentu terjamin bersih dan sehat.
Strategi lain untuk mengatasi masalah kelangkaan ketersediaan RTH kota dapat dilakukan melalui pemanfaatan sisa-sisa lahan yang ada secara optimal. Penanaman ruang luar halaman pekarangan rumah atau di atas bangunan bertingkat secara efektif memanfaatkan teras atau puncak gedung (rooftop garden), dengan tanaman aerofonik atau hidrofonik, dan semacamnya.
Akibat keterbatasan lahan, pengembangan RTH dimungkinkan mengarah ke atas. Landscap vertikal (vertical landscape) tengah dikembangkan di kota Singapura, New York, Chicago, dan kota-kota berpenduduk padat di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Pengembangan lansekap vertikal berupa taman atap (roof deck gardens), taman gantung (sky terraces greenery), taman balkoni (landscape balconies), lapangan golf game mini, atau taman kafe, ibarat oase di atas langit. Kehadirannya akan meningkatkan keindahan gedung dan melindungi bangunan dari sengatan matahari yang berlebihan. Untuk membuktikan keseriusan komitmen tersebut, pemerintah daerah harus memelopori pembangunan lansekap vertikal di gedung-gedung pemerintah dan rumah susun.
Konsep kembali ke alam merupakan upaya membawa kehidupan alam asli ke dalam lingkungan kehidupan kota dan menyatukan dengan sumber-sumber kehidupan alaminya. Pemahaman akan pentingnya upaya menjaga fungsi lingkungan melalui keseimbangan antara RTH dengan ruang kota lain, akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan.
Pengelolaan lingkungan perkotaan, khususnya RTH tak lepas dari kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan hidup terpadu seperti programme Tata Praja Lingkungan, yang difokuskan pada empat aspek pengelolaan, yaitu permasalahan sampah, RTH, kualitas air, dan fasilitas umum lain yang terkait erat.
Pengembangan perancangan keempat aspek tersebut seyogyanya dirancang agar masing-masing bagian infrastruktur dapat berfungsi optimal, tanpa menimbulkan masalah dan bisa saling mendukung bagi masing-masing kota maupun dalam hubungan kemitraan antar berbagai pihak secara menyeluruh. Teknik-teknik pemecahan dipelajari, direncanakan dan disesuaikan secara terbuka melalui pembangunan berbasis masyarakat, sehingga dapat menghindari kesalahan serupa dan hasilnya semakin sempurna.
Niat baik mewujudkan kepemerintahan yang baik dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti programme Bangun Praja (good environmental governance, GEG) sebenarnya bukan barang baru, dulu dikenal dengan programme Adipura yang dilaksanakan secara terpusat. Selaras dengan semangat otonomi daerah untuk mendorong dan meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup pemerintahan di daerah, perlu disadari bersama akan perlunya peninjauan berbagai kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Sesuai dengan laju pembangunannya, maka kota-kota selalu menghadapi masalah. Terutama pada tahun terakhir ini telah terjadi suksesi permasalahan yang segera membutuhkan penyelesaian, sedangkan permasalahan yang baru sudah mulai, dan timbul lagi. Masalah yang terjadi dimana-mana adalah akibat berlebihannya konsentrasi penduduk dan aktivitas di kota-kota besar.
Permasalahan ini diperbesar oleh karakteristik sosial, akibat internasionalisasi, pentingnya pertumbuhan informasi dan teknologi tinggi yang harus dipertimbangkan. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk siap menghadapi perkembangan masalah masyarakat yang semakin menua ini. Meningkatnya kondisi lingkungan dan keindahan, serta memastikan bahwa pengukuran-pengukuran perlu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan akan rekreasi di ruang terbuka. Jadi perlu disadari, bahwa kota selalu menghadapi masalah-masalah penting baru.
Untuk mengatasi hal seperti ini, pemerintahan kota harus melihat bahwa permasalahan tidak hanya dari segi perangkat keras (fisik) saja, tetapi juga pada masalah perangkat lunak, seperti ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, strategi pembangunan menyeluruh ini akan meningkat.
Di Jepang, perencanaan kota harus mampu memerankan diri sebagai suatu alat yang dapat menyelesaikan masalah secara menyeluruh, melalui pedoman untuk kota yang bersangkutan, seiring dan melalui konsultasi dengan Perencanaan Nasional Pembangunan Menyeluruh, dan Rencana Induk Pembangunan Wilayah, serta Strategi Rehabilitasi Lahan.
Selanjutnya, perencanaan Kota Menyeluruh di Jepang, tidak langsung diterapkan melalui hukum, karena kedisiplinan dan kesadaran hukum penduduk yang sudah relatif tinggi. Perencanaan kota tetap dikombinasikan dengan peraturan hukum sebagai petunjuk yang kuat dan dapat dipertimbangkan, serta menyadari akan keterbatasan aspek-aspek lain, seperti penata-gunaan tanah dan pembangunan prasarana perkotaan, serta proyek-proyek pembangunan kota. Jadi, tetap ada semacam kekuatan hukum sebagai penunjangnya.