Candi Candi Jawa Timur
Macan Dan Contoh Candi Candi di Jawa Timur - Adalah mari kita bahas dengan bahan dibawah ini
1) Candi-candi di Jawa Timur
Corak candi di Jawa Timur menggambarkan susunan masyarakat federal, di mana raja berdiri di belakang mempersatukan wilayahwilayah di bawahnya. Dalam corak ini, candi utama ada di latar belakang bangunan-bangunan candi yang lebih kecil. Secara garis besar, ciri-ciri candi yang terdapat di Jawa Timur adalah:
(a) Bentuk bangunan ramping.
(b) Atapnya bertingkat-tingkat dan puncaknya berbentuk kubus.
(c) Makara (patung atau relief yang berwujud hewan “campuran”) tidak ada dan pintu relung hanya ada ambangnya saja yang diberi kepala Batara Kala.
(d) Reliefnya timbul sedikit dan bersifat simbolis, mirip karakter wayang kulit (satu dimensi).
(e) Candi (utama) terletak di bab belakang komplek.
(f) Kebanyakan menghadap ke arah barat dan terbuat dari bata.
Berikut ini nama-nama candi yang terletak di Jawa Timur.
a) Candi Badut
Candi Badut merupakan candi Hindu, terletak di Desa Dinoyo, sebelah barat-laut Malang. Di Desa Dinoyo ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 760 M, berhuruf Kawi dan bahasa Sansekerta. Prasasti Dinoyo ini menceritakan bahwa pada masa ke-8 M ada sebuah kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang Desa Kanjuron) di Jawa Timur. Rajanya berjulukan Dewa Singha, berputerakan Limwa. Limwa ini kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja dengan nama Gajahyana. Gajahyana kemudian mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Dewa Agastya. Patung Agastya ini dahulu terbuat dari kayu cendana, kemudian diganti dengan arca dari kerikil hitam. Peresmian arca tersebut dilakukan pada tahun 760 dan dipimpin oleh sejumlah pendeta Hindu.
Pada ketika itu Raja Gajahyana menghadiahi para pendeta sebidang tanah, hewan lembu, sejumlah budak atau pekerja, dan segala keperluan untuk upaca keagamaan. Ia memerintah biar didirikan sejumlah bangunan asrama untuk keperluan kaum brahmana dan tamu. Diperkirakan, bangunan asrama tersebut salah satunya yakni Candi Badut ini. Namun, dalam candi ini tak terdapat arca Agastya, melainkan sebuah lingga. Mungkin sekali lingga ini sebagai lambang Agastya, yang memang selalu digambarkan sebagai Siwa dalam wujud sebagai Batara Guru.
b) Candi Kidal
Candi Kidal letaknya 7 km sebelah tenggara Candi Jago, antara Malang dan Tumpang. Candi ini mulanya sebagai tempat penyimpanan bubuk mayat Anusapati Raja Singasari. Di dalamnya terdapat arca Anusapati dalam wujud Dewa Siwa. Bangunan ini mulai berfungsi sebagai tempat pemujaan yang kuasa sekitar tahun 1248 M. Candi ini terbuat dari kerikil alam. Pada candi Hindu setinggi 12,5 m ini terdapat pahatan dongeng Garuda yang mencuri amarta, yaitu “air kehidupan”.
c) Candi Jago
Candi Jago (Negarakretagama menyebutnya Candi Jajaghu) merupakan candi Siwa-Buddha (agama percampuran), disebut juga Candi Tumpang alasannya yakni terletak di Desa Tumpang, sebelah timur Malang. Candi ini dibangun oleh Raja Kertanegara dari Singasari sebagai penghormatan terhadap Wisnuwardhana, ayahnya. Arsitekturnya bersusun tiga (berundak) dengan tubuh candi terletak di bab belakang kaki candi.
Candi Jago dihiasi ornamen sangat glamor serta gambar timbul (relief) yang melukiskan cerita-cerita binatang, dongeng Kunjarakanda, Arjuna, dan Kresna. Karakter tokoh-tokohnya yang tercetak di reliefnya: berbadan bungkuk, berkepala besar; dikelilingi bunga-bungaan dan tumbuh-tumbuhan; perilaku kaki, pundak dan lengan yang tak biasa, menyebabkan kesan mirip wayang. Pada gambar timbul tersebut, sering terdapat lukisan pekarangan rumah dengan balai; mirip yang masih terdapat di Bali berilmu balig cukup akal ini, yakni teras (bertingkat) dari batu. Di atas teras terdapat empat tiang dengan sebuah atap di atasnya. Antara teras dan atap terdapat lantai tempat duduk dari kayu.
d) Candi Jawi (Jajawa)
Dalam Negarakretagama, candi ini disebut Candi Jajawa dan dibentuk oleh pada masa Kertanegara. Pada tahun 1331 candi ini pernah tersambar petir. Candi ini tingginya 24 m, bercorak Siwa-Buddha. Selain patung tubuh Siwa, ditemukan pula arca Ardanari, Brahma, Ganesha, Durga, dan Lembu Nandi. Di candi ini Kertanegara disucikan sebagai tiga bentuk arca yang berbeda. Pertama sebagai Siwa sekaligus Buddha dalam bentuk Bhairawa sebagai lambang nirmanakaya; dalam Bentuk Ardhanari sebagai lambang sambhogakaya, dan dalam bentuk Jina sebagai lambang dharmakaya.
e) Candi Singasari
Candi Singasari merupakan candi Siwa yang besar dan tinggi, berada 10 km dari Malang, di sekitar ibukota Singasari dahulu. Candi ini merupakan tempat pendarmaan Kertanegara yang digambarkan sebagai Bhairawa (Kertanegara juga disucikan sebagai Siwa dan Buddha di Candi Jawi). Bagian atas candi melambangkan puncak Mahameru, kediaman para yang kuasa dalam mitologi Hindu. Candi ini dibentuk pada masa Hayam Wuruk Majapahit. Pintu candi ini berhiaskan patung Kala (Dwarapala). Pada pintu dan tangga tidak terdapat lagi makara, hanya motif yang serapa garis-garis dan salur-salur bunga. Pengaruhnya gaya Candi Singasari terlihat sekali pada patung Bhairawa di Sungai Langsat, Bukittinggi di kerajaan Minangkabau, Sumatera. Patung Ken Dedes di candi Singasari ini digambarkan sebagai Dewi Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan.
f) Komplek Candi Panataran
Komplek Candi Panataran terletak 11 km dari Blitar, tepatnya di Desa Panataran, Kecamatan Nglegok. Komplek ini didirikan semenjak pemerintahan Kediri, kemudian banyak mengalami renovasi semasa pemerintahan Majapahit. Bangunan utama (Candi Panataran) akhir semasa pemerintahan Hayam Wuruk. Komplek ini semula dikelilingi tembok dengan gerbang masuk di sisi barat namun kini tinggal sisa-sisanya, antara lain dua buah arca Dwarapala, yaitu arca raksasa penjaga pintu candi.
Luas kompleks percandian 180 m x 60 m, terbagi dalam tiga halaman. Pada halaman paling barat terdapat tiga bangunan utama, yaitu yang ada di sudut barat laut, sebuah teras memanjang dari utara ke selatan (di Bali disebut ”Bale Agung”); bangunan ke-2 yakni sebuah teras lain biasa disebut Serambi teras” terdapat di tengah halaman dan berpahatkan angka 1297 Saka (1375 M); bangunan utama ke-3 ialah sebuah candi indah yang biasa disebut ”Candi Angka Tahun”, alasannya yakni di atas pintu masuk terdapat pahatan angka 1291 Saka (1369 Masehi). Candi utama ini yang dikenal sebagai Candi Panataran, terdiri atas tiga tingkat. Pada dinding tingkat pertama candi utama ini terpahat relief Ramayana: adegan Hanoman tiba ke Alengka sebagai utusan Rama hingga tewasnya Kumbakarna, adik Raja Alengka, Rahwana. Pada tingkat kedua terdapat relief kisah Kresnayana, dongeng Kresna muda mendapat Rukmini, calon istrinya.
g) Candi Rimbi
Candi ini terletak di Desa Pulosari, Jombang, merupakan candi Hindu peninggalan Majapahit masa ke-14. Di dalamnya terdapat arca Parwati yang diwujudkan sebagai Tribuwana Tunggadewi, ratu Majapahit yang memerintah tahun 1328-1350. Arca ini kini disimpan di Museum Pusat di Jakarta.
h) Candi Bajang Ratu
Candi ini sebenarnya merupakan gapura yang terbuat dari batubata di kawasan Trowulan, bekas ibukota Majapahit. Makara bukan tempat bubuk mayat raja atau tempat pendarmaan. Gapura Bajang Ratu ini berukiran dari atas hingga bawah. Jenis gapura ini tertutup, berbeda dengan Waringin Lawang, sebuah gapura di kawasan Trowulan juga yang termasuk Candi Bentar. Melihat kelaziman di Bali, Candi Bentar yakni gapura masuk ke deretan keratin Majapahit. Sedangkan gapura tertutup ada di dalam deretan keraton, maka Bajang Ratu termasuk dalam keraton Majapahit atau deretan sebuah tempat anggota kerajaan. Menurut dongeng setempat, gapura ini dilalui darah biru Majapahit yang lari ketika Majapahit diserang oleh pasukan Is lam dari Demak dan Kudus pada tahun 1478. Menurut tradisi setempat, seorang pegawai negeri tak diperbolehkan naik ke atas gapura, alasannya yakni ia sanggup terkena sial dan akan dipecat dari jabatannya.
i). Candi Sumber Awan
Candi Sumber Awan didirikan sebagai penghargaan atas kunjungan Hayam Wuruk ke kawasan di kaki Gunung Arjuna. Candi ini bercorak Buddha dan dibangun sehabis Candi Singasari selesai. Candi ini didirikan oleh kaum Buddhis sebagai penghargaan terhadap Hayam Wuruk yang Hindu dalam menghormati agama Buddha.
Versi bahan oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
