Perencanakan Dan Realisasi Rth Kota Dalam Perencanaan Kota
Dengan maksud agar perencanaan RTH kota dapat terealisai, maka perencanaan kota tersebut jangan sampai tetap tinggal sebagai gambar belaka, akibat ide perencanaan tak mengandung arti sosial. RTH kota dapat diterapkan, bila memang berarti untuk meningkatkan nilai perencanaan tersebut. Artinya tanpa unsur RTH kota sebagai penyeimbang struktur fisik sudah pasti fungsi lingkungan yang nyaman dan lestari tak akan tercapai. Untuk alasan inilah, berbagai ukuran dan skala perancangan telah dipertimbangkan, sehingga perencanaan nampak menjadi kompleks.
Demikian pula kasus rehabilitasi perencanaan kota di Osaka, Jepang, perencanaan kota dibuat modern sehingga nampak menjadi sangat kompleks. Reklamasi pesisir pantai wilayah kota kedua terbesar di Jepang tersebut dimaksudkan sebagai suatu wilayah baru untuk pembangunan lapangan terbang sekaligus expanse rekreasi. Demikian pula dengan negara kota taman Singapura, yang sampai kini masih giat membangun proyek perluasan wilayah di bagian pesisir pantai timur pulaunya. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sumber cloth urungnya didatangkan dari Kepulauan Riau, Indonesia.
Secara teoritis, maupun dalam pelaksanaannya, proyek rehabilitasi (sebagian) kota di luar negeri dapat dibedakan ke dalam dua aspek berdasar hak kepemilikan dan pengelolaan lahan sebagai berikut:
1. Perencanaan kota dimana satu atau beberapa badan masyarakat dapat langsung menangani proyek-proyek, termasuk sarana kota utama yang harus dibangun dalam perencanaan kota, seperti jalan, taman (RTH), sarana lain dalam proyek terpadu tersebut, juga dalam persesuaian lahan dan pembangunan kota kembali (rehabilitasi atau revitalisasi). Di sini, proyek yang dimaksud adalah yang membutuhkan penguasaan atas tapak yang diperlukan dan dengan investasi masyarakat. Umumnya, proyek yang menggunakan metoda lahan yang diplot kembali, seperti proyek persesuaian lahan ini, biasanya akan tetap membutuhkan sedikit modal masyarakat.
2. Perencanaan kota dimana kegiatan-kegiatan dilakukan oleh sektor swasta, yang biasanya tidak langsung diatur termasuk sarana kota utama yang harus dibangun oleh organisasi perencanaan kota seperti: proyek tunggal, misalnya: jalan, park, dan sarana lain, serta proyek terpadu, seperti persesuaian lahan dan pembangunan kota kembali. Rehabilitasi kota harus menghubungkan dengan perancangan dalam sistem zoning tata guna lahan untuk pekerjaan bangunan dan sistem perijinan kerja pembangunan yang disesuaikan dengan peruntukan lahan.
Berdasar pertimbangan atas dasar peraturan (regulasi) tersebut di atas, maka pekerjaan itu harusnya dilaksanakan dengan rasa syukur, sebab bila ruang terbuka (di dalamnya terdapat RTH kota) diciptakan, maka terdapat dua macam ukuran pelaksanaan, yakni modal masyarakat yang besar dan bagi kepentingan masyarakat dan atau yang dilaksanakan oleh modal atau sektor swasta. Sebagai konsekuensinya, perlu ditentukan mana yang dipilih diantara atau bersama-sama antar kedua ukuran tersebut di atas, sebelum diputuskan pelaksanaannya.
Jadi, meskipun sarana kota itu dibangun dari investasi masyarakat, maka sarana kota khususnya sarana RTH kota yang penting dan harus ada tersebut, pemerintahan kota yang seharusnya tetap menjaga dan memeliharanya, meskipun butuh biaya tinggi. Sedang sarana perencanaan kota dan konstruksinyalah yang dapat menjadi tanggung jawab masyarakat. Pada kasus ini, kebanyakan merupakan proyek tunggal masyarakat umum. Langkah pertama ini harus diambil, sebab biasanya biaya ”penguasaan lahan” yang menjadikan proyek ini terlaksana, menjadi sangat tinggi.
Sementara itu pada investasi swasta, kebutuhan RTH-nya akan berbeda-beda, tetapi semua tetap harus terjalin dimana proyek tersebut berada dalam berbagai tipe wilayah kota yang ada. Areal RTH tersebut dibangun untuk keseimbangan dengan bangunan non-pemerintah dan merupakan perencanaan menyeluruh dari wilayah kota tersebut. Dalam kasus seperti ini, investasi sektor swasta lebih disukai dari pada investasi umum karena:
1. Pertimbangan kasus dimana RTH dibangun melalui ijin sebagai bagian karya pembangunan. Ini merupakan semacam aturan pembatasan perencanaan kota, di Amerika disebut sub-division control. Metoda menyisihkan lahan untuk RTH didasarkan pada kriteria dengan skala dan tipe karya pembangunan tertentu sesuai yang dikehendaki, sekaligus merupakan kondisi penting agar usulan pembangunan disetujui. RTH diciptakan oleh proyek masyarakat yang didasarkan pada ijin resmi dan merupakan sumbangan untuk organisasi masyarakat lokal. Maka, tanpa kecuali, RTH telah menjadi bagian dari pembangunan lahan oleh sektor swasta pula. Asumsi perkiraan kebutuhan RTH secara kasar, adalah 3-6 meter persegi/orang atau satu hektar untuk tiap 100 orang penghuni;
2. Pertimbangan kasus dimana RTH dibangun oleh proyek persesuaian lahan, yang dapat dilaksanakan, baik oleh organisasi umum atau oleh konsorsium kepemilikan tanah. Bagaimanapun juga dalam peraturan umum, penguasaan tapak tidak akan terjadi, kecuali apabila diproses sebagai lahan yang suatu saat dapat diplot kembali sebagian atau sleuruhnya untuk kepentingan umum. Dalam hubungannya dengan peraturan, tapak untuk RTH disediakan bagi kelompok masyarakat umum, setelah sebelumnya tapak dipersiapkan. Menurut aturan, biaya proyek diatasi dengan mengatur lahan cadangan pada expanse yang dipertimbangkan tersebut dan dengan subsidi proyek yang telah diciptakan pada berbagai macam tipe RTH, seperti taman lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi dan rekreasi masyarakat sekitar;
3. Mempertimbangkan arti perlunya proyeksi sebuah expanse kosong dan terbuka untuk umum, maka perencanaan RTH kota, misalnya harus dilakukan melalui sistem perancangan menyeluruh termasuk struktur bangunan di dalamnya. Bila ruang terbuka tersebut cukup luas dan berada dalam konstruksi tapak, maka sistem ini memungkinkan perancangan bangunan untuk mempertimbangkan pula multi-gunanya, dan dengan maksud untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan wilayah kota, dan untuk pembatasannya, perlu pengaturan rasio expanse dasar (floor expanse ratio). Pembatasan di atas tidak formal karena tujuannya adalah pada efek peningkatan ukuran (disebut tipe praktis efek pembatasan). Tujuan lain adalah agar ada sistem bonus (insentif) dari suatu sistem yang dapat menyediakan besaran ukuran expanse dasar utama, pada tempat-tempat di mana terdapat lahan kosong yang terbuka. Karena banyaknya penguasa di wilayah kota yang mencari ‘bonus’ semacam ini, maka akibat positifnya adalah lahan losong terbuka tersebut dapat terpelihara dan mungkin bisa bebas sewa dan pajak (free tax). Dilihat secara nasional, seseorang dapat mengatakan bahwa Osaka adalah kota di mana disajikan banyak contoh dari aplikasi sistem tersebut;
4.Mendemonstrasikan penggunaan sistem peraturan bangunan dan peraturan penghijauan, di mana kedua-duanya juga tetap didasarkan pada hukum. Dengan demikian dimaksudkan agar dalam expanse khusus ini pemilik tanah dapat, memberi tanda sesuai persetujuan secara sukarela (voluntary) atau ijin khusus untuk menuai keuntungan dari pengelolaan tapak kosong yang berada, misalnya di sepanjang jalur jalan, jalur badan air, dan sebaginya.
Semua kemungkinan adanya pendekatan berdasar ukuran-ukuran (1-4) di atas, dapat digunakan sebagai referensi dalam hubungannya dengan pembangunan area, di mana investasi umum terbatas: 15-20 persen untuk jalan, dimana tiga persen bagian lahan harus dicadangkan untuk kepentingan umum. Dengan demikian untuk tapak bangunan tinggal fourscore persen (atau 50-70 persen), karena itu maka rasio expanse dasar untuk bangunan dapat dinaikkan.
Sistem perancangan komprehensif untuk bangunan, telah diaplikasikan pada konstruksi dari semua bangunan wilayah. Lahan terbuka yang kosong disisihkan dan dipertimbangkan bagi peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota. Untuk alasan inilah, yang berlawanan dengan rasio ruang lantai dasar yang dirancang sebesar forty persen, maka rasio ruang lantai dapat mencapai 10-20 persen di atas ukuran yang disyaratkan tersebut. Hal ini telah dianggap sebagai suatu peningkatan bonus yang penting bagi peningkatan persepsi masyarakatnya.